Penulis sebenarnya pernah membuat tulisan serupa pada 2008 silam ketika menempuh pendidikan master di Prince of Songkla University, Thailand.
Diterbitkan Radar Tarakan (Kaltim Post Group), tulisan berjudul “Biogas, Atasi Sampah Kota dan Mahalnya BBM” itu dibuat karena terjadinya kelangkaan dan kenaikan harga BBM. Tulisan itu pun masih bisa diakses melalui blog penulis dengan judul serupa.
Tulisan itu mengulas masalah sampah yang menjadi momok menakutkan kota berkembang, termasuk di dalamnya kabupaten/kota di Kaltim. Pertumbuhan penduduk disinyalir menjadi penyebab peningkatan produksi sampah, sementara pengelolaan masih terbatas dan menggunakan sistem open dumping (ditumpuk di lahan terbuka), yang notabenenya sangat berbahaya bagi lingkungan, bahkan manusia.
Meski namanya sampah, bukan berarti bahan itu tidak dapat dimanfaatkan. Umumnya, sampah di Kaltim masih didominasi sampah organik. Jenis inilah yang nantinya diubah menjadi biogas melalui proses fermentasi (pembusukan) oleh mikroorganisme. Biogas ini lah yang akan digunakan untuk menghasilkan tenaga listrik.
Biogas terdiri dari gas metana sebesar 60-70 persen, karbondioksida sebesar 20-30 persen, oksigen sebesar 1-4 persen, nitrogen sebesar 1-3 persen, karbonmonoksida dan hidrogen sulfida kurang dari 1 persen. Biogas ini mudah terbakar jika kandungan gas metana lebih dari 50 persen. Satu meter kubik biogas setara dengan 5.200 hingga 5.900 kilo kalori, atau dapat digunakan untuk menyalakan lampu 50-100 watt selama 6 jam.
Biogas ini diketahui sebagai sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan, karena setelah melalui proses pembakaran, biogas hanya menghasilkan gas karbondioksida yang mudah diuraikan tanaman. Keuntungan lain, produk sampingan berupa kompos yang berguna untuk kesuburan tanah. Tak hanya itu, serangkaian proses di atas juga mampu membunuh berbagai penyakit yang bersumber dari sampah.
Selama menempuh pendidikan doktoral (S-3) di Universiti Putra Malaysia, penulis mendengar kisah sukses pengolahan sampah perkotaan di Bukit Tagar Sanitary Landfill. Seperti namanya, TPA ini menggunakan sistem sanitary landfill dan khusus menangani sampah di seluruh Kuala Lumpur dan sebagian Selangor. TPA ini dioperasikan tahun 2005 dan dapat beroperasi hingga 50 tahun ke depan.
Dari pengelolaan sampah di TPA ini, dihasilkan gas metana yang digunakan untuk pembangkit tenaga listrik. Tak hanya itu, lokasi ini juga mampu mengolah air lindi sebanyak 1.000 meter kubik per hari. Kesuksesan TPA ini pun diganjar dengan penghargaan domestik dan internasional untuk desain dan operasional.
Apa yang menyebabkan TPA Bukit Tagar menjadi kisah sukses di Negara tetangga kita ini. Satu saja kata kuncinya, yakni “dukungan pemerintah”. Hal itu pun diakui profesor dan dosen senior yang sudah berkecimpung dengan urusan sampah kota selama puluhan tahun. Tanpa dukungan pemerintah, TPA Bukit Tagar tidak akan berhasil. Dukungan itu berupa pembuatan kebijakan, penyediaan anggaran, hingga meningkatkan peran perguruan tinggi lokal.
Mengenai analisa pengelolaan sampah dengan sistem ini, pernyataan berikut bisa menjadi pertimbangan. “Pemerintah Malaysia saat ini berencana membangun TPA serupa Bukit Tagar di 11 lokasi. Hal itu berdasarkan analisa efektivitas pengolahan sampah, biaya, keandalan, keamanan, dan efek sosial”. Mengenai detail analisa, tentu menjadi rahasia “perusahaan”.
Dari gambaran proses dan kisah sukses di atas, mampukah Kaltim mengubah sampah menjadi listrik saat ini? Jawabannya “sangat mampu dan sudah saatnya”. Keyakinan ini dilatarbelakangi adanya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah dengan sistem sanitary landfill di Samarinda, yakni Sambutan dan Palaran (informasi terakhir akan ditutup karena keterbatasan angkutan).
Sistem ini merupakan langkah awal pembuatan biogas dari sampah, karena sistem ini telah memisahkan sampah organik dengan sampah anorganik. Proses yang sangat penting untuk menghasilkan biogas.
Sistem ini relevan untuk pengelolaan sampah perkotaan karena sederhana dan fleksibel. Dimana, sampah diisolasi hingga tidak berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Kontrol terhadap gas dan air lindi yang dihasilkan dapat dilakukan. Bahkan akses sampah terhadap binatang pengerat seperti tikus, serta lalat dapat dikendalikan.
Dalam praktik di lapangan, sistem ini dapat diadopsi dan dikombinasikan dengan strategi pengelolaan sampah lainnya, seperti daur ulang (sampah plastik, aluminium, dan bahan lainnya), serta pengelolaan bahan organik menjadi biogas, hingga menghasilkan kompos.
Meski baru Samarinda yang mengelola sampah dengan sistem sanitary landfill, tapi hal itu menunjukkan Kaltim telah siap pada tahap awal. Tinggal mendatangkan teknologi untuk membuat biogas, mengumpulkan biogas, dan mengubah menjadi listrik.
Mengenai tenaga ahli, tak perlu jauh-jauh mengambil tenaga dari luar negeri, karena tenaga di Kaltim sudah lebih dari cukup, termasuk tenaga ahli di Universitas Mulawarman (Unmul). Memulangkan tenaga ahli asal Kaltim yang kini berada di luar negeri juga sangat perlu. Hanya saja, bisakah Pemprov Kaltim menjamin hidup para ahli asal Kaltim yang sudah hidup nyaman di luar negeri.
Jika Pemprov Kaltim maupun kabupaten/kota di Kaltim meminta dibuatkan analisa menyeluruh mengenai potensi sampah menjadi listrik, maka penulis yang kini tengah menempuh pendidikan di bidang keilmuan energi terbarukan pun sanggup membantu semaksimal mungkin berdasarkan keilmuan yang diperoleh.
Penulis:
Mahasiswa Program Doktoral (S-3) di Universiti Putra Malaysia atas biaya Beasiswa Kaltim Cemerlang.
Sumber : Kaltim Post
COMMENTS